Oleh: Farhan Maksudi
Ketua Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) PCNU Kabupaten Indramayu
Mulai Senin, 14 Juli 2025, siswa tingkat SMP di Kabupaten Indramayu menjalani rutinitas baru: masuk sekolah lebih pagi pada pukul 06.30 WIB dan libur di hari Sabtu. Kebijakan ini diambil sebagai tindak lanjut dari Surat Edaran Gubernur Jawa Barat dan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah, yang mendorong sistem lima hari belajar dalam seminggu. Pemerintah Kabupaten Indramayu, melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, menyambutnya dengan antusias. Namun, apakah kebijakan ini benar-benar menjawab kebutuhan pendidikan lokal kita?
Perubahan jadwal masuk menjadi lebih pagi patut dikritisi. Pukul 06.30 bukanlah waktu ideal bagi anak-anak usia SMP untuk memulai aktivitas akademik yang menuntut konsentrasi tinggi. Di wilayah seperti Indramayu yang memiliki wilayah perdesaan luas, banyak siswa harus menempuh perjalanan panjang ke sekolah, bahkan sebelum matahari terbit. Dalam praktiknya, anak-anak harus bangun pukul 04.30 atau bahkan lebih pagi. Akibatnya, mereka sampai di sekolah dalam kondisi mengantuk, lelah, dan tidak siap secara fisik maupun mental untuk menerima pelajaran.
Kebijakan ini juga dapat berdampak negatif terhadap aspek kesehatan dan keselamatan siswa. Anak-anak yang belum cukup tidur lebih rentan terhadap gangguan kesehatan seperti penurunan imun tubuh dan gangguan konsentrasi. Belum lagi risiko keselamatan di jalan, terutama bagi siswa yang harus menempuh perjalanan jauh dengan kendaraan umum atau sepeda motor pada waktu subuh.
Di sisi lain, sistem lima hari sekolah memang memberikan harapan baru: waktu libur lebih panjang di akhir pekan. Namun, jika tidak disertai dengan pengurangan beban kurikulum atau metode pembelajaran yang lebih menyenangkan, maka ini hanya akan menjadi perpindahan tekanan dari hari Sabtu ke hari-hari lainnya. Alih-alih membebaskan siswa, kebijakan ini justru bisa membuat mereka pulang lebih sore dalam kondisi lelah dan jenuh. Apakah ini yang dimaksud dengan pendidikan yang manusiawi?
Lebih ironis lagi, sistem ini diterapkan hanya untuk jenjang SMP, sementara SD dan PAUD masih tetap enam hari sekolah. Alasan yang disampaikan pemerintah adalah keberadaan Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (MDTA) di siang hari. Ini menunjukkan bahwa belum ada sinkronisasi kebijakan antara pendidikan formal dan nonformal. Padahal, pendidikan anak seharusnya dipandang secara holistik, bukan dibagi-bagi dalam sekat-sekat birokratis.
Hal paling mendasar yang luput dari kebijakan ini adalah pelibatan publik. Tidak terlihat adanya forum dialog terbuka dengan orang tua, guru, tokoh masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya. Keputusan seolah diambil hanya berdasarkan regulasi administratif tanpa mempertimbangkan realitas sosial dan budaya masyarakat Indramayu. Padahal, pendidikan yang baik bukan hanya patuh aturan, tetapi juga harus adaptif terhadap konteks lokal.
Pendidikan bukan sekadar soal jam belajar dan libur akhir pekan. Pendidikan adalah soal menciptakan anak-anak yang sehat, bahagia, dan siap menghadapi masa depan. Jika sebuah kebijakan justru berpotensi melemahkan semangat belajar anak, maka sudah selayaknya ia dikaji ulang. Jangan sampai demi mengejar efisiensi administrasi, kita justru mengorbankan generasi yang seharusnya kita lindungi dan bimbing dengan bijaksana.***