Oleh: H. Supendi Samian, SE. MM (Ketua STIDKI NU Indramayu)
Hari Raya Qurban (Idul Adha) merupakan salah satu hari besar dalam Islam yang sarat dengan nilai-nilai spiritual, moral, dan sosial. Ia bukan hanya sekadar perayaan ritual penyembelihan hewan, tetapi juga merupakan momentum refleksi atas ketaatan, ketulusan, dan keikhlasan dalam beribadah kepada Allah SWT, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS. Namun lebih dari itu, Idul Adha adalah waktu yang sangat tepat untuk membangkitkan rasa kepedulian sosial dan tanggung jawab kemanusiaan, terutama kepada golongan yang lemah secara ekonomi.
Di tengah realitas sosial yang timpang di mana sebagian masyarakat hidup dalam kelimpahan, sementara yang lain sulit mengakses kebutuhan dasar seperti pangan ibadah qurban menjadi sarana untuk mengetuk hati orang-orang kaya agar mau berbagi dan hadir secara nyata dalam kehidupan sosial. Pembagian daging qurban kepada fakir miskin, tetangga, dan masyarakat sekitar bukan hanya sekadar sedekah daging, tetapi simbol keberpihakan terhadap keadilan sosial dan solidaritas kemanusiaan.
Dalam perspektif Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja), qurban bukan sekadar amal ibadah individual, melainkan bagian dari sistem sosial Islam yang mendorong lahirnya masyarakat yang peduli, adil, dan berperadaban. Oleh karena itu, pemahaman dan pelaksanaan qurban perlu diarahkan tidak hanya pada aspek ritual semata, tetapi juga pada aspek sosial dan kultural, sesuai dengan semangat Al-Qur’an, hadis Nabi SAW, dan pandangan para ulama.
Kajian ini akan membahas bagaimana ibadah qurban dapat menjadi sarana untuk mengetuk pintu orang kaya agar lebih peka terhadap kondisi masyarakat sekitarnya, serta bagaimana qurban menjadi medium penting dalam membangun sensitivitas terhadap kultur sosial masyarakat, khususnya dalam konteks Indonesia yang kaya akan tradisi dan keberagaman sosial.
Hari Raya Qurban (Idul Adha) bukan hanya ritual keagamaan, tetapi momentum besar dalam Islam yang mengajarkan:
> "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya..."
Allah menegaskan bahwa hakikat qurban bukan pada fisik hewan, tapi niat tulus dan ketakwaan, yang terwujud dalam kepedulian sosial.
Orang kaya tidak cukup hanya menyembelih, tapi harus memiliki kesadaran sosial sebagai buah dari ketakwaan.
> Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail yang menjadi simbol pengabdian total kepada Allah, dan menjadi dasar syariat berqurban.
> “Tidak ada amal yang lebih dicintai Allah pada hari nahar (Idul Adha) daripada menyembelih hewan qurban...”
Makna:
Qurban adalah amal terbaik, karena tidak hanya ritual tapi mengandung pembebasan sosial lewat distribusi daging kepada yang membutuhkan.
“Muliakanlah hari-hari besar Islam dan berbagilah dengan tetanggamu, walau hanya dengan daging qurban...”
Makna:
Menunjukkan bahwa qurban bukan sekadar personal, tapi ada tanggung jawab sosial dan kultural terhadap sekitar.
Qurban bukan hanya menyembelih hewan, tapi juga menyembelih keserakahan diri dan ego yang kerap menjauhkan manusia dari empati terhadap fakir miskin.
“Qurban adalah sunnah muakkadah bagi yang mampu. Bila di suatu masyarakat banyak miskin, maka menjadi tanggung jawab sosial yang hampir wajib untuk dilakukan.”
Dalam kitab Adabul 'Alim wal Muta'allim, Kiai Hasyim menekankan pentingnya amal sosial dan keseimbangan antara ritual dan muamalah.
Hari Raya Qurban seharusnya menjadi momen:
Membangkitkan rasa empati dan tanggung jawab sosial pada orang kaya, yang selama ini hidup nyaman namun acapkali jauh dari problematika masyarakat bawah.
Mewujudkan distribusi ekonomi, lewat pembagian daging qurban yang merata dan adil.
Menumbuhkan kesadaran kultural, karena di banyak daerah, makna qurban sangat dalam bagi masyarakat kecil: hanya saat itulah mereka merasakan daging segar.
Di banyak desa dan daerah pinggiran:
Daging qurban bukan sekadar makanan, tapi simbol kehadiran dan perhatian orang berada kepada masyarakat kecil.
Maka, qurban bukan hanya ritual personal, tetapi kewajiban moral dan kultural, sebagaimana maqashid syariah: menjaga jiwa, harta, dan keseimbangan sosial.
Hari Raya Qurban adalah:
Hari Raya Qurban bukan sekadar ritual penyembelihan hewan, melainkan simbol ketaatan dan kepedulian sosial yang mendalam. Ia mengingatkan umat Islam bahwa keberagamaan sejati bukan hanya terletak pada ibadah-ibadah formal, tetapi juga pada sejauh mana seseorang mampu menebar manfaat dan keadilan sosial kepada sesama. Dalam konteks ini, orang-orang kaya dan berkecukupan memiliki peran strategis dan tanggung jawab moral untuk menjadi agen kepedulian dan keseimbangan sosial, sebagaimana dituntunkan dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW.
Semangat qurban seharusnya mengetuk pintu hati para aghniya (orang-orang kaya), mengajak mereka keluar dari zona nyaman dan melihat realitas masyarakat miskin yang kerap terpinggirkan. Melalui ibadah qurban, nilai-nilai solidaritas sosial, distribusi kekayaan, dan kepedulian kultural terhadap kondisi sekitar dapat dibangun dan diperkuat. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip Aswaja yang menjunjung tinggi keadilan sosial dan kemaslahatan umat dalam bingkai moderasi, keseimbangan, dan kasih sayang.
Akhirnya, qurban adalah ibadah yang sarat makna, bukan hanya dalam dimensi ubudiyah (penghambaan kepada Allah), tetapi juga dalam dimensi insaniyah (kemanusiaan). Menunaikannya dengan penuh kesadaran sosial dan tanggung jawab kultural adalah bentuk nyata dari Islam yang rahmatan lil ‘alamin membawa rahmat dan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. ***