Bagi pengusaha tambang, keberadaan A2B sangat signifikan. Alat-alat berat itulah yang membantu keperluan pengusaha di lokasi pertambangan. Kebutuhan kendaraan berat itu sebagian besar memang di lokasi tambang. Jadi, tidak dioperasikan sebagaimana kendaraan bermotor di jalan raya. Karena itu, pengusaha merasa kurang tepat kalau A2B dikenai pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB).
Toh, di lapangan sejumlah Pemda sudah mengenakan PKB dan BBNKB untuk alat-alat berat yang dipakai pengusaha tambang. Inilah yang dinilai Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) memberatkan. "Bukan hanya memberatkan, tetapi juga berpotensi mematikan usaha tambang," kata Baharuddin T.M., Komite Hukum dan Sumber Daya Manusia APBI.
Baharuddin dan kawasan-kawan di APBI akhirnya membawa persoalan ini ke jalur hukum. Melalui tim kuasa hukumnya, APBI menggugat payung hukum yang selama ini dipakai Pemerintah Daerah - yakni penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Pajak dan Retribusi Daerah -- ke Mahkamah Konstitusi. Sidang atas permohonan judicial review pengusaha tambang tersebut mulai digelar Rabu (01/4) siang kemarin.
Pasal 2 ayat (1) tersebut merumuskan jenis pajak provinsi, yang terdiri dari pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, bea balik nama kendaran bermotor dan kendaraan di atas air, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, dan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Meskipun ada empat jenis pajak, daerah boleh tidak memungut salah satunya karena pertimbangan tertentu.
Pada bagian penjelasan pasal ini disebutkan lingkup kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak. Rumusan yang memasukkan A2B inilah yang dipersoalkan APBI.
Prof. A. Mukhtie Fadjar, hakim konstitusi yang memimpin persidangan, meminta Baharuddin memperbaiki dan memperjelas beberapa bagian dari materi permohonan. Hakim lain, M. Akil Mochtar, menyarankan agar pemohon memperjelas kualitas pemohon. Biasanya, pemiliki A2B adalah perseorangan atau perusahaan tambang. Lalu, mengapa permohonan judicial review diajukan oleh Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia?
Akhmad Jazuli, salah seorang kuasa hukum pemohon, menerangkan bahwa keresahan dan kerugian akibat berlakunya pasal dimaksud bukan hanya menimpa satu dua pengusaha tambang, tetapi sudah menjalar ke banyak pengusaha yang berlindungan di bawah APBI.
Ketika Pemerintah menerbitkan regulasi pelaksanaan UU Pajak dan Retribusi Daerah, pengusaha tambang sebenarnya sudah melakukan perlawanan hukum. Wasis Susetio, juga kuasa hukum APBI, mengatakan kliennya sudah mengajukan uji materiil Peraturan Pemerintah (PP) No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah ke Mahkamah Agung. "Tapi ditolak karena alasan prosedural. Sudah melewati batas waktu permohonan," kata Wasis.
Kini, APBI melakukan perlawanan hukum yang lebih tinggi, yakni memohonkan pengujian terhadap payung hukum PP tadi. "Kami minta agar A2B tidak dimasukkan dalam kategori kendaraan bermotor yang dikenakan pajak," kata Baharuddin.