
Tawaran program, tawaran janji, bahkan klaim sebagai putra daerah yang wajib dipilih menghiasi aneka alat peraga tersebut. Baligho, spanduk, banner, serta stiker sudah seperti penanda wilayah. Ibarat kucing, alat peraga itu merupakan air seni yang disemprotkan agar sesama kucing tidak boleh menempati wilayah yang sama. Lantas bagaimana dengan sikap pemilih sendiri?
"Ruwet," ungkap Darto, karyawan bagian keamanan di sebuah lembaga keuangan di bilangan Jatibarang, secara singkat kepada Cuplik.com.
Sikap Darto mungkin tidak mewakili secara keseluruhan pemilih yang ada, namun beberapa kejadian yang unik juga mewarnai aneka alat peraga itu.
Penelusuran Cuplik.com di daerah pemilihan tiga (Dapil 3) Indramayu juga menemukan ‘gangguan' yang sama pada alat peraga. Hampir semuanya berwujud vandalism, yakni merusak sebagian alat peraga atau mencoret-coretnya. Hal yang sama, kabarnya juga ditemukan di dapil yang lain.
"Ini sebenarnya bentuk keisengan semata dari para pemilih," ungkap Umar S. Radic, seorang analis media.
Lulusan Hermes School of Thought Jakarta ini menambahkan ada kemungkinan dilakukan oleh tim sukses sendiri untuk menengguk keuntungan citra sebagai pihak teraniaya. Karena, ungkapnya, ada semacam imitasi-imitasi yang dikembangkan dari kejadian ‘aniaya' Megawati kepada SBY yang mengangkat pamor SBY sehingga terpilih sebagai Presiden.
"Citra sebagai orang yang dianiaya ini sebenarnya sudah usang," ungkap Umar dalam bincang-bincang Sabtu (24/08/13) pagi bersama Cuplik.com.
Kejenuhan Pemilih
Saat ditanya mengapa beberapa pemilih memiliki keisengan tersebut, Umar mengatakan bahwa itu ungkapan kejenuhan.
"Seruan atas nama rakyat sebagai bagian dari etika Aristoteles yang seyogyanya dipakai dalam ranah demokratisasi negara, berganti dengan etika Machiavelli. Ini yang menyebabkan rakyat jenuh," jelasnya.
Politisi Indonesia, ungkapnya, gandrung terhadap etika Machiavelli itu, gandrung akan politik saling menguasai dan menghabisi. Namun lagi-lagi, citra yang diungkapkan dan berserakan di alat peraga yang disebut diatas merupakan etika Aristoteles yang mewatak pada pengabdian dan pelayanan terhadap rakyat.
"Para Caleg itu harus memiliki akar sebagai pengabdi rakyat, bukan pengabdi kekuasaan, bukan juga hanya bermodal citra semata. Mereka harus tampil, dan mereka yang harusnya menang dalam kontes demokrasi 2014 nanti. Tentu saja mereka bakal berhadapan dengan para Machiavellian berkantong tebal," tegas Umar.