Cuplik.Com - Jakarta - Penembakan yang mengakibatkan delapan prajurit TNI dan empat warga sipil meninggal pada Kamis (21/02) merupakan peristiwa kekerasan yang ke lima belas kalinya di Papua sejak 2012. Setidaknya, Papua kembali memanas akhir-akhir ini. Berbagai elemen bangsa turut menyampaikan keprihatinannya terhadap kejadian tersebut.
"Kami menyatakan prihatin dan duka mendalam atas peristiwa itu," ungkap
Haris Azhar, Koordinator badan Pekerja KontraS, dalam rilis yang diterima
Cuplik.com pada Sabtu (23/02).
Haris menambahkan bahwa terhadap situasi ini, KontraS memberikan dua catatan, pertama, pemerintah di Jakarta tidak sensitif terhadap rantai kekerasan yang terjadi di Papua. Bahkan model kekerasan ini tidak mengenal latar belakang dari para korban.
"Peristiwa pembunuhan terhadap 12 orang, merupakan akibat dari buruknya penegakan hukum di Papua. Dalam hal ini kami mempertanyakan peran dan kinerja kepolisian dalam penegakan hukum di Papua, khususnya untuk kasus-kasus yang sensitif, seperti di area Puncak Jaya," katanya.
Kedua, Haris mempertanyakan model operasi dan instruksi pengamanan yang diterapkan di Papua. Mengingat, tambahnya, banyaknya jumlah korban yang berjatuhan, baik dari pihak TNI, polisi dan warga sipil selama kurun waktu 2012 hingga Februari 2013.
"Ketiga, kami mempertanyakan keberadaan dan status warga sipil yang menjadi korban dalam peristiwa 21 Februari 2013, sebagaimana pernyataan Mabes POLRI melalui Komisaris Besar Polisi Agus Rianto, Kabag Penum Mabes POLRI pada 22 Februari lalu," ungkap Haris.
KontraS pun mengharapkan Presiden SBY
blusukan memimpin penegakan hukum dan menempuh langkah-langkah mencapai keadilan di Papua. Lembaga ini pun meminta DPR RI aktif untuk mengevaluasi model operasi keamanan yang dilakukan Polri, TNI dan BIN di Papua.