Sebenarnya, praperadilan dalam KUHAP masih mengandung kelemahan. Berdasarkan praktik selama ini, kelemahan-kelemahan itu mendorong Tim Penyusun RUU KUHAP ingin mengubah praperadilan dengan konsep hakim komisaris. Selama ini, praperadilan terlalu mengedepankan formalitas sehingga kurang bisa mengungkap kebenaran yang didalilkan pemohon. Hakim sangat terkungkung pada pemeriksaan formal.
Penelitian terbaru yang dilaksanakan Komisi Hukum Nasional (KHN) memperkuat sinyalemen tentang kelemahan konsep praperadilan dalam KUHAP. Dari 363 responden di 33 provinsi, mayoritas menyetujui bahwa konsep praperadilan yang berlaku saat ini merupakan salah satu kelemahan mendasar dari KUHAP. Sebab, praperadilan lebih banyak tertuju pada dipenuhinya syarat-syarat formil suatu penangkapan atau penahanan. Kesetujuan responden malah dikategorikan ‘cukup kuat'. 102 responden malah menyatakan sangat setuju, dan 197 menyatakan setuju. Hanya 54 responden yang tidak setuju, dan 5 orang sangat tidak setuju.
Survei itu menjadi penting karena respondennya kebanyakan adalah mereka yang sehari-sehari bergelut dengan hukum. Responden berasal dari kehakiman, kejaksaan, kepolisian, petugas lapas atau rutan, advokat, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat.
Secara normatif ada empat kelemahan dasar praperadilan yang ditemukan KHN. Pertama, proses pengadilan atas praperadilan hanya dapat dilaksanakan jika ada pihak yang menggunakan haknya. Selama tidak ada pihak yang menuntut, hakim tidak dapat menguji sah tidaknya tindakan penyidik dan penuntut umum. Dalam praperadilan, hakim bersifat pasif. Ia baru dapat memeriksa bila ada inisiatif. Dalam pemeriksaan tentang sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan (pasal 79 KUHAP), inisiatif datang dari tersangka, keluarga, atau kuasanya. Untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, inisiatif datang dari penyidik, penuntut, atau pihak ketiga (pasal 80 KUHAP). Lalu, untuk permintaan ganti kerugian inisiatif datang dari tersangka atau pihak ketiga (pasal 81 KUHAP).
Kedua, hak tersangka, keluarga, atau kuasanya dapat gugur jika perkara pidana telah mulai disidangkan. Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menegaskan dalam hal perkara sudah diperiksa pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan permintaan praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.
Ketiga, tidak semua upaya paksa dapat diuji hakim. Sehingga, menimbulkan ketidakjelasan siapa yang berwenang mengujinya. Lagipula, hakim hanya memperhatikan pemenuhan syarat formal, dan tidak menyentuk syarat materiil.
Keempat, lembaga praperadilan saat ini merupakan transplantasi dari konsep Hobeas Corpus. Ternyata, baik substansi maupun mekanisme yang diatur KUHAP tidak sesuai dengan konsep dasar menurut Hobeas Corpus. Akibatnya, hakim tidak efektif mengawasi penggunaan upaya paksa dan kesewenang-wenangan penyidik atau penuntut umum.
Selain keempat kelemahan tadi, penelitian KHN juga mencatat keluhan tentang batas waktu pemeriksaan praperadilan. Sebagian responden menganggap waktu tujuh hari tidak memadai bagi hakim untuk memeriksa dan memutus perkara praperadilan.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Prija Djatmika membenarkan bahwa praperadilan menghadapi masalah, sehingga perlu dipikirkan alternatif. Selama ini praperadilan yang dianut KUHAP belum menyentuh uji keabsahan penggeledahan dan penyitaan. Padahal kedua perbuatan itu sering dilakukan penyidik, dan tidak menutup kemungkinan dilakukan sewenang-wenang.
Persoalan lain yang dicatat Djatmika adalah budaya masyarakat yang enggan secara frontal berhadapan dengan aparat penegak hukum. Sebagian masyarakat memilih tidak mempersoalkan keabsahan penahanan karena berhadapan dengan penyidik di pengadilan sulit dimenangkan.
Mys/CR-7
3 tanggapan | masukan tanggapan
Kirim Tanggapan
Nama Lengkap
Email
Judul
Tanggapan
Tanggapan
icon title
praperadilan ?
[18.12.09 05:56] - 90% praperadilan yg diajukan ke PN ditolak dgn alasan sumir, bahwa seluruh prosedur penangkapan,penahanan dan penyidikan telah dilakukan sesuai dengan prosedur. Hakim Indonesia sekalipun ada perintah menggali nilai kebenaran dari suatu kasus, mayoritas "takut akan kebenaran" dan mengedepankan "hubungan baik sesama penegak hukum" atau ada kepentingan lain, tidak ada yg tahu krn hakim tunggal. ketentuan praperadilan tdak efektif dan tidak sesuai dengan tujuan dimasukkannya ketentuan tsb ke dalam KUHAP. Bahkan sebaliknya, perkara peradilan ujungnya membenarkan perilaku penyidik yang tercela, ceroboh dan sewenang2 dalam menangkap dan menahan seseroang. Hakim praperadilan belum berdiri tegak di atas semua kepentingan. RUU KUHAP menghapuskan praperadilan, memasukkan hakim komisaris, pertanyaan: apa bedanya dengan hakim praperadilan? konsep hakim komisaris, hakim harus proaktif, bgma dalam praktik? yg penting hukum acara bgma hakim komisaris harus menangani masalah penahanan dan perpanjangan penahanan; tanpa hk acara yg jelas dan lengkap; konsep hakim komisaris akan mubazir. Penegak hk di Indonesia banyak akalnya tapi akal bulus.menyiasati ketentuan telah menjadi kebiasaan buruk yang menjamur tanpa risiko ancaman sanksi krn mrk mengetahui sanksi sangat tergantung korps dan atasan.Saya prediksi konsep hakim komisaris tidak akan efektif alias gagal..
romli atmasasmita
Rekonstruksi KUHAP
[18.12.09 21:36] - dgn adanya RUU KUHAP yg saat ini sementara dibahas,secara akademik sebenarx lembaga praperadilan dlm UU NO 8/1981 tlah lama diketahui mengandung kelemahan prinsipil,baik sacara empirik maupun teoritik,krna lembaga praperadilan tdk mampu menjawab pelanggaran2 signifikan melainkan hanya beroperasi pd tingkat formalitas belaka,jdi alternatif yg paling urgen adalah diadopsinya mekanisme hakim komisaris dlm RUU KUHAP,.BY.081342274455.