
Umar S. Radic, pemerhati gerakan politik-ideologis, memiliki pandangan yang khas tentang demokrasi dan fungsi alun-alun tersebut.
Rezim Paranoid
Menurut Umar, pada zaman dulu, ketika rakyat tengah menghadapi suatu persoalan tertentu dan mengharapkan sebuah solusi dari raja, mereka akan berkumpul dan berjemur di alun-alun sambil menunggu perhatian sang raja sampai kemudian raja memberikan titah tentang bagaimana problem rakyat itu dipecahkan. Kala itu pemecahan masalahnya masih bersifat langsung. Jika, misalnya, masyarakat mengadukan suatu persoalan yang terkait dengan seorang pembesar istana maka sang raja akan mengkonfirmasi hal itu kepada si pembesar istana langsung di depan rakyat, sehingga tak ada istilah pat pat gulipat. Kemudian, dalam perjalanan waktu kebiasaan rakyat tersebut tetap dijalankan sampai sekarang, namun kebiasaan kumpul-kumpul tersebut telah diberi label baru dan disesuaikan dengan iklim demokratisasi yaitu: demonstrasi.
"Berbicara tentang penanganan demonstrasi di Indramayu memang tergolong unik. Demonstrasi akan di respon dengan water canon oleh pihak kepolisian yang berjaga-jaga di belakang gerbang tinggi Pendopo, dan selain itu, para demonstran pasti sudah dikepung oleh Intel dan Reskrim Polres yang siap membekuk pendemo," kata Umar.
Umar melanjutkan bahwa pola semacam itu adalah modus politik yang lahir dari psikologi kekuasaan yang paranoid. Kondisi kejiwaan semacam itu bukan hanya menyediakan unsur Polres yang secara utuh penuh melakukan "pengamanan" serta unsur Kodim yang diperbantukan, namun unsur-unsur tadi telah didahului dengan pembangunan tembok dan pagar tinggi menjulang mengelilingi alun-alun Indramayu sehingga para demonstran tetap berkumpul dan berjemur di luar pagar sampai mereka lelah dengan sendirinya, lalu membubarkan diri, tanpa sedikit pun ada solusi dari Pemda.
"Bila saya katakan bahwa Pemda Indramayu masih memandang Demokrasi sebagai ancaman, hal ini bukan tanpa alasan. Demokrasi itu identik dengan demonstrasi, dalam arti menyampaikan aspirasi secara kolektif ke Pendopo. Dan jujur saja bahwa demonstrasi di Indramayu lebih sering direspon dengan water canon, pentungan dan preman ketimbang oleh Bupati langsung yang siap berdialog dengan rakyatnya," tambah Umar.
Demo "anarkis" dan istilah kondusifitas
Menurut Umar, pembangunan tembok dan pagar tinggi alun-alun Pendopo Indramayu yang menjulang seperti sekarang ini paling tidak dapat dilihat berdasarkan penyelewengan makna pada dua istilah, yaitu makna anarkis dan makna kondusif atau kondusifitas yang sering muncul di media cetak maupun elektronik.
"Jika dalam suatu peristiwa demonstrasi yang mengangkat isu tertentu, misalnya isu tentang korupsi atau isu tentang lahan petani kemudian terjadi ketegangan antara demonstran dengan Pemda serta unsur Polres Indramayu, yang misalnya berujung pengrusakan terhadap benda atau orang, maka umumnya media menggunakan istilah 'anarkis' untuk menggambarkan peristiwa itu. Dan anehnya, istilah itu secara seragam digunakan oleh Pemda dan juga Polres. Padahal kata 'anarkis' adalah istilah ideologis yang merujuk kepada suatu perjuangan kelompok tertentu yang menolak aturan yang ada secara sistemik. Sementara kita tahu bahwa para demonstran itu justru melakukan aksi di bawah payung hukum Indonesia dan memberitahukan rencananya ke instansi terkait. Maka dari itu dilihat dari penggunaan istilah saja Pemda, Kepolisian dan Media (media massa siapapun yang menggunakan istilah ini: red.) telah secara bersama-sama melakukan pembusukan atas istilah itu untuk menyingkirkan demonstrasi yang berdampak pada matinya demokrasi," urai Umar.
"Istilah yang tidak tepat itu (istilah anarkis: red.) kemudian ditingkahi dengan istilah lain yakni 'kondusifitas'. Artinya situasi ketegangan antara demonstran, Pemda serta kepolisian tadi yang secara sepihak disebut dengan 'anarkis' itu tentu sama dengan 'tidak kondusif'. Menurut saya, penggunaan kedua istilah tersebut secara terus-menerus adalah bagian dari propaganda politik sebagai pembenaran atas dipertingginya tembok dan pagar alun-alun Indramayu sehingga masyarakat menjadi maklum, dan diharapkan masyarakat pun alergi terhadap demonstrasi karena demonstrasi tentu punya potensi 'anarkis' dan anarkis berarti situasi tidak kondusif dan itu berarti menghambat pertumbuhan ekonomi. Dan bila tafsir situasinya adalah seperti ini maka tak ada gunannya berbicara tentang demokrasi sebab itu artinya demokrasi di ujung bayonet," pungkas Umar.