Untuk memperkuat basis penegakan hukum tersebut, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia M. Nur Solikhin meminta legislator memprioritaskan pembentukan peraturan perundang-undangan antikorupsi. Termasuk mengawal lebih lanjut perundang-undangan internasional bidang pemberantasan korupsi yang sudah diratifikasi. Misalnya, Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003 yang sudah disahkan menjadi Undang-Undang No. 7 Tahun 2006.
Pekerjaan rumah DPR dan Pemerintah pada masa mendatang sejalan dengan intensifnya upaya pemberantasan korupsi. Hal yang mendesak dilakukan terkait legislasi adalah penyusunan payung hukum buat Pengadilan Tipikor dan memperkuat eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ironisnya, pembahasan RUU Pengadilan Tipikor, sekalipun sudah diminta Mahkamah Konstitusi harus selesai dalam waktu tiga tahun, masih terkesan lamban. Apakah karena banyak anggota DPR yang terjebak di dalam pusaran korupsi itu sendiri? "Hingga kini, nasib RUU Pengadilan Tipikor dan RUU KPK tidak lebih baik," kata Solikhin.
RUU Bidang Anti Korupsi | Prioritas Tahun | Realisasi | Status |
RUU Tentang Pengesahan Konvensi PBB Menentang Korupsi, 2003 | 2005 | Disetujui pada 2006 | Disahkan menjadi UU No. 7 Tahun 2006 |
RUU KPK | 2008 | - | - |
RUU Tentang Pengadilan Tipikor | 2008 | - | Pembahasan di tingkat Pansus |
RUU Pemberantasan Tipikor | 2009 | - | Persiapan di tingkat Pemerintah |
Sumber: PSHK
Peneliti PSHK ini pesimis atas kinerja legislasi yang dilakukan oleh DPR. "Berdasarkan evaluasi kinerja legislasi DPR yang dilakukan oleh PSHK, dari sisi kuantitas saja DPR tak pernah mampu memenuhi target jumlah RUU yang sudah ditetapkan dalam prolegnas tahunannya," ujar Sholikin.
Dalam fungsinya DPR memberikan pembagian tugas-tugasnya 60:40. Artinya, fungsi legislasi mendapatkan waktu sebesar 60%, sementara 40% sisanya untuk pelaksanaan fungsi pengawasan dan anggaran. "Jadi dalam penyusunan prolegnas, DPR akan menemui permasalahan tersendiri baik dari segi penentuan jumlah maupun penentuan RUU," katanya.
Hal senada juga dikatakan Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho. Menurut dia, komitmen yang ditunjukan oleh pemerintah dan DPR mengenai RUU Anti Korupsi sangat rendah. "Jika dilihat dari tingkatan kelas satu sampai kelas lima, komitmen DPR dan pemerintah ini mendapatkan ranking di kelas lima," kata Emerson.
Ranking pertama di duduki oleh RUU yang mudah diselesaikan, seperti RUU Pemekaran Wilayah. Kedua, RUU yang terkait kepentingan DPR secara langsung seperti RUU Pemilu, RUU Pilpres dan RUU Susduk. Ketiga, RUU yang terkait kepentingan pihak swasta seperti RUU Minerba. Keempat, RUU yang terkait kepentingan DPR secara tidak langusng seperti RUU MA. Dan yang terakhir, RUU berdimensi kepentingan publik atau pemberantasan korupsi seperti RUU Kebebasan Informasi, RUU Perlindungan Saksi dan RUU Pengadilan Tipikor.
Sampai berita ini dibuat hukumonline belum berhasil minta komentar dari pimpinan ataupun anggota Baleg DPR. Wakil Ketua Baleg Almuzammil Yusuf dan Anggota Baleg Mutammimul Ula tidak mengangkat teleponnya. Anggota Baleg lainnya, Nusjahbani Katjasungkana minta lewat short massage service (sms) karena sedang berada di daerah pemilihannya. Namun, hingga kini dirinya belum membalas sms hukumonline. Sedangkan Anggota Baleg lainnya, Andi Yuliani Paris, Nasir Jamil telepon selulernya tidak aktif.