Hal itu dikatakan oleh salah satu anggota Tim Percepatan Pembangunan Pembangkit PLN, Prayogo. "Dalam mendukung proyek listrik 10.000 MW tidak mudah mencari lahan," katanya yang ditemui di Gedung Bappenas kemarin.
Jadi persoalan sulitnya mendapatkan lahan untuk proyek baru, tidak saja dialami oleh perusahaan swasta. Hal yang sama juga dialami oleh instansi pemerintah ataupun BUMN seperti halnya PLN.
Selain pemilik lahan, biasanya ada pihak luar yang juga ingin mengeruk keuntungan dalam proses pembebasan lahan. Mereka tidak membedakan proyek pemerintah ataupun proyek swasta. Dampaknya, biaya pembebasan lahan sangat mahal dan sulit untuk dinegosiasikan.
Hal yang sama juga dialami untuk proyek listrik 10.000 MW tahap kedua. Saat ini belum ada tempat yang pasti lahan yang digunakan untuk proyek tahap kedua tersebut. Disamping semua pihak masih konsentrasi pada pembiayaan proyek tahap pertama yang kebutuhan dananya belum semuanya terpenuhi dengan komitmen awal mendapat pembiayaan dari China sebesar US$ 2 miliar.
Proyek listrik 10.000 MW memang akan didominasi listrik swasta (independent power producer/IPP) sebanyak 6.314 MW dan PLN sektiar 3.649 MW. Namun PLN tetap harus mendanai sebagian pembangkit yang tidak dikerjakan oleh IPP. Saat ini komitmen pendanaan berasal dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC). PLN akan mendanai US$ 3,8 miliar, sedangkan IPP US$ 13,42 miliar.
Adapun lokasi proyek listrik 10.000 MW adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 2 Jawa Tengah, Tanjung Jati 600-700 MW. Sementara itu, tiga lainnya yang 300-400 MW adalah PLTU 3 Banten, Teluk Naga; PLTU 2 Jawa Barat, Pelabuhan Ratu; dan PLTU 1 Jawa Timur, Pacitan.