Hal itu dipaparkan oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK).
Pertama, aturan yang berdampak pada pelebaran (jangkauan) birokrasi. Atau dengan kata lain, RUU Ormas berpotensi menimbulkan birokratisasi atau tambahan tahapan, yang sebenarnya relatif dapat ditiadakan, direlokasi, atau diperkecil cakupannya. Aturan dimaksud terkait dengan:
Adapun pasal-pasal yang dikategorikan berdampak pada pelebaran (jangkauan) birokrasi adalah: Pasal 14 s/d Pasal 18, Pasal 34, Pasal 38, Pasal 51 s/d Pasal 52, total: 9 Pasal.
Kedua, materi yang sebenarnya (i) tanpa RUU Ormas atur, suatu organisasi pasti akan mengaturnya; (ii) hanya sebagian kecil saja yang relevan yang diatur Pemerintah; atau (iii) menimbulkan pertanyaan terkait adanya konsekuensi berupa "penyeragaman". Atau dengan kata lain, RUU Ormas sekedar mengatur "politik identitas".
Materi tersebut muncul pada: pasal 1 s/d Pasal 7, Pasal 13, Pasal 19 s/d Pasal 24, Pasal 26 s/d Pasal 33, Pasal 35 s/d Pascal 37, Pasal 39 s/d Pasal 43, Pasal 45 s/d Pasal 50, Pasal 53 s/d Pasal 57, sehingga total 41 pasal.
Ketiga, materi RUU Ormas yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 (UU Yayasan) dan prinsip-prinsip pengaturan perkumpulan yang diatur melalui Stb. 1870-64, yang teridentifikasi (berpotensi) tumpah tindih atau bahkan kontradiktif.
Beberapa diantaranya: Pasal 8 s/d Pasal 12, Pasal 16, Pasal 25, Pasal 38 s/d Pasal 39, Pasal 44 s/d Pasal 45, total: 11 Pasal.