Harga pupuk yang tak kunjung turun, infrastruktur buruk, dan retribusi tak terkendali masih menjadi persoalan utama pemangku kepentingan kelapa sawit. Pemerintah semestinya me ngatasi berbagai persoalan tersebut lebih cepat sehingga industri minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan petani kelapa sawit bisa lebih efisien.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Asmar Arsjad di Jakarta, Selasa (7/4), mengatakan, sudah dua bulan terakhir petani kembali menikmati harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit Rp 1.200-Rp 1.300 per kilogram. Tren positif ini muncul setelah harga CPO dan TBS anjlok sejak Agustus 2008-Januari 2009.
"Kami tidak setuju. Pemerintah jangan lagi membuat kebijakan yang memberatkan petani karena biaya input (sarana produksi) masih tinggi," kata Asmar.
Indonesia memproduksi 20 juta ton CPO tahun 2008 dari kebun kelapa sawit seluas 6,9 juta hektar. Sedikitnya 2 juta keluarga petani memiliki 2,8 juta hektar kebun kelapa sawit dan mempekerjakan sekitar 5 juta pekerja.
Kenaikan harga TBS dua bulan terakhir memberi angin segar bagi petani kelapa sawit. Saat harga TBS lebih dari Rp 800 per kilogram, petani masih dapat menabung untuk membeli pupuk yang mencapai Rp 6,075 juta per hektar per semester.
Biaya pupuk membengkak karena petani sulit mendapat pupuk bersubsidi. Bahkan, pupuk nonsubsidi berharga mahal pun tak jarang menghilang di pasaran. Petani pun terpaksa membeli pupuk urea seharga Rp 8.000 per kilogram, NPK Rp 10.000 per kilogram, dan KCL Rp 10.000 per kilogram.
Harga pupuk yang mahal membuat produktivitas kebun rakyat rendah, hanya 10-13 ton TBS per hektar per tahun. Jauh di bawah potensi produksi 25 ton TBS per hektar per tahun bila petani merawat kebunnya dengan intensif.
"Kalau pemerintah ingin meningkatkan penerimaan, tolong jangan sampai menekan petani," ujar Asmar.
Seperti diberitakan Kompas (7/4), pemerintah berencana menurunkan batas bawah tarif bea keluar nol persen dari 700 dollar AS per ton menjadi 650 dollar AS per ton. Langkah ini bertujuan menjaga stabilitas harga minyak goreng di pasar domestik.
Tujuan lainnya tentu saja menggenjot penerimaan negara. Menurut Asmar, pemerintah telah menerima sedikitnya Rp 25 triliun dari pungutan ekspor sepanjang tahun 2008. Namun, tidak sedikit pun dari dana tersebut kembali untuk pengembangan industri kelapa sawit nasional.
Secara terpisah, Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Bidang Budidaya dan Industri Daud Dharsono mengatakan, langkah tersebut sangat tidak bijaksana. Krisis global yang melemahkan permintaan impor membuat harga CPO anjlok pada kuartal IV-2008 dan awal tahun 2009.
Saat permintaan cenderung membaik sehingga harga CPO naik, harga TBS pun ikut naik bersamaan pelemahan kurs rupiah terhadap dollar AS. Hal ini tentu akan berdampak positif bagi perekonomian karena konsumsi masyarakat perkebunan bisa stabil.
Menurut Daud, pemerintah harus lebih adil memperlakukan industri kelapa sawit. Apabila pemerintah ingin memungut bea keluar, maka pengambil keputusan juga harus mengalokasikan sebagian dana untuk pengembangan agroindustri nasional. Selama ini, pelaku usaha berjuang sendirian meningkatkan riset kelapa sawit, kampanye positif ke luar negeri, dan promosi pasar internasional.
"DMSI sudah menyiapkan konsep pemakaian dana tersebut dengan transparan untuk pengembangan kelapa sawit Indonesia jangka panjang. Indonesia produsen utama CPO, tetapi riset dan pengembangan kelapa sawit masih tertinggal," kata Daud.